PEMILIHAN Ketua PMII Banten mengundang tanya besar: apakah kita sedang menjalankan demokrasi kader atau sekadar menyaksikan pasar malam politik?
Yang seharusnya menjadi ajang adu gagasan dan gagahnya visi kepemimpinan, justru bergeser menjadi festival transaksi suara. Nilai-nilai Aswaja, yang konon menjadi fondasi pergerakan, perlahan menghilang di antara tumpukan notifikasi dan bisik-bisik nominal.
Seorang tokoh PMII senior, yang enggan disebutkan namanya, mengatakan dengan nada getir,“Kader sekarang terlalu cepat dewasa dalam politik, tapi belum matang dalam prinsip. Mereka paham taktik, tapi lupa nilai.”
Apa yang terjadi dalam pemilihan ini bukan hanya soal “politik uang”, tapi krisis nilai secara struktural. Di tengah semangat idealisme yang dideklarasikan dalam forum-forum diskusi, nyatanya suara bisa berpindah hanya karena angka yang tepat.
Ketika ditanya soal fenomena tersebut, salah satu peserta aktif malah menjawab santai: “Jangan terlalu idealis lah. Ini bagian dari strategi. Toh ujungnya semua ingin menang, bukan?”
Jawaban itu, sesungguhnya, sudah cukup merangkum realitas kita hari ini.
Lucunya, panitia pemilihan tetap bersikukuh bahwa proses berjalan jujur, adil, dan transparan. Sementara di lapangan, lebih banyak kader yang sibuk menghitung kemungkinan, bukan menimbang nilai.
Pengkhianatan terhadap nilai bukan lagi dianggap aib, melainkan justru dibingkai sebagai kecerdikan politik. Ironis, tapi di sinilah kita berada.
PMII Banten kini sedang memanggil kesadarannya yang hilang. Sebab jika semua yang dianggap sakral bisa ditukar dengan harga yang tepat, maka jangan salahkan jika kelak organisasi ini hanya akan melahirkan pemimpin yang pintar membeli suara, bukan memimpin umat.
Dan bagi yang merasa menang karena transaksi: selamat, kalian telah menapaki tangga kepemimpinan—dengan kaki yang basah oleh air comberan. Jangan lupa bersihkan sebelum duduk di kursi yang kalian beli.
Penulis : Alif Asmawiyah Karomah
Banten, 12 April 2025