TANGERANG – Aksi Debt Collector atau biasa disebut Mata Elang (Matel) yang kerap menyerupai gaya geng motor masih marak terjadi di Kabupaten Tangerang. Mereka kerap memberhentikan pengendara motor secara paksa, membahayakan keselamatan, dan melakukan intimidasi.
Hal ini dialami oleh seorang wartawan berinisial AS saat dalam perjalanan menuju lokasi liputan pada Selasa (29/4/2025) pagi. Dua orang debt collector yang berboncengan berusaha menghentikan paksa kendaraan Honda Genio yang ia gunakan di depan lampu merah Citra Raya, Cikupa, Kabupaten Tangerang.
“Saya sedang berkendara, tiba-tiba dihentikan di depan BPR. Dua orang yang berboncengan mendatangi saya dan menanyakan kepemilikan motor yang saya gunakan, yang ternyata atas nama istri saya,” kisah AS.
Ketika AS menanyakan identitas dan surat tugas, mereka mengaku berasal dari Debt Collector Adira Cikupa, namun tidak mampu menunjukkan kartu identitas resmi. “Saya minta kartu tanda pengenal, tapi malah dibentak. Lalu mereka memaksa saya mengikuti mereka ke kantornya,” ujarnya.
Alih-alih dibawa ke kantor Adira, AS justru diarahkan ke kantor PT. Bintang Sinergi Nusantara (BSN) di sekitar Jalan Raya Cikupa. Di sana, seseorang yang mengaku sebagai pimpinan menyodorkan dokumen BSTK (Bukti Serah Terima Kendaraan) untuk ditandatangani, namun AS menolak.
“Saya mencoba negosiasi, tapi tidak ada kesepakatan. Mereka malah memaksa mengambil kunci motor saya dan mengeluarkan barang-barang dari jok,” jelas AS.

Yang lebih mengejutkan, saat AS sedang bernegosiasi di warung dekat kantor BSN, motornya tiba-tiba hilang. “Saya tidak tahu motor saya dibawa ke mana. Ini jelas tindakan semena-mena,” tegasnya.
AS menyatakan akan melaporkan kejadian ini ke Polresta Tangerang. Ia menegaskan bahwa tindakan debt collector tersebut melanggar hukum, termasuk menghalangi tugas jurnalistik yang dilindungi UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (Pasal 18 ayat 1), dengan ancaman hukuman 2 tahun penjara atau denda Rp500 juta.
“Saya tidak akan diam. Debt collector seharusnya datang ke alamat pemilik, bukan asal menahan orang di jalan. Saya yakin banyak korban lain yang mengalami hal serupa,” tegas AS.
Kasus ini kembali mempertanyakan pengawasan terhadap praktik debt collector di Indonesia, yang kerap menggunakan cara-cara intimidasi dan kekerasan. Masyarakat diimbau untuk waspada dan segera melapor jika mengalami hal serupa.